Cerah pagi itu seketika mendung dan
berkabung. Mengisyaratkan sebuah kesediahan yang mendalam. Ketika Qomar dan
orang lain dari dirinya mengetahui kabar lelayu dari seorang yang pernah
berbuat baik kepada mereka.
Qomar yang baru duduk di bangku
kelas 9 SMP masih terlalu kecil untuk berpisah dengan Nyai Shofiyah sebagai ibu
penggantinya selama di pesantren. Dia merasa masih membutuhkan kasih sayang
dari beliau. Karena hari-hari yang dijalani oleh Qomar saat awal-awal nyantri
di pesantren Al-Latif terasa indah dengan adanya Nyai Shofiyah.
Walaupun Qomar adalah salah satu
dari sekian banyak santri yang mondok di pesantren itu. Bukan berarti cuma
Qomar saja yang selalu diperhatikan oleh Nyai Shofiyah. Ada juga orang-orang
dari luar lingkungan pesantren yang berguru pada beliau melalui sowan kepada
beliau.
Tapi, bagi diri Qomar. Sosok beliau
yang akrab dipanggil Nyai Shofiyah oleh kebanyakan santri itu adalah orang yang
bersahaja.
Keluh kesah Qomar selama awal-awal
masuk pesantren begitu mengharukan. Dia seolah-olah kehilangan keluarganya.
Namun, perasaan itu mulai samar dan perlahan hilang. Dengan keberadaan Nyai
Shofiyah di pesantren itu. Yang persinggahan beliau menyatu dengan komplek
asrama putri mengahadap asrama putra.
***
Awal-awal Qomar datang waktu kelas 7
SMP dulu. Dimana Qomar terlampau belum beradaptasi dengan lingkungan pondok
yang serba mandiri. Qomar terlalu kaget dan silau dengan keadaan seperti itu
yang sengaja dipilihnya sendiri sebagai tempat belajar setelah lulus dari
sekolah dasar.
Waktu itu acara awwalussanah. Dimana
para santri baru yang akan nyantri di pesantren itu harus berpisah jarak antara
keluarganya. Dan dimana ada isak tangis dari beberapa santri baru yang masih
keberatan ditinggal sementara oleh keluarganya.
Qomar dengan melihat keadaan seperti
itu juga terbawa keharuan perpisahan. Dia sebenarnya biasa-biasa saja ketika
orangtuanya tidak menemaninya saat acara berlangsung. Namun, setelah malamnya.
Qomar menyendiri. Melepas tangis sesenggukannya di pojokan serambi masjid yang
masih satu komplek dengan pesantren.
Lantas, ada santri lama
menghampirinya. Ia menyodorkan tangan dan mengajak berkenalan. Dialah Firman
santri lama itu. Setelah basa-basi perkenalan itu. Qomar menjadi sedikit
tenteram. Sembari mengusap air mata yang menghangatkan pipinya.
“Ada apa, dik?” Tanya Firman. Qomar
menghela napas dan menggelengkan kepala. “Kangen keluarga ya?” Lanjut Firman
dengan senyuman. Qomar hanya diam kali ini. Hanya isyarat kesunyian yang bisa
Firman tangkap dari raut Qomar.
Namun, Firman masih berusaha
menghibur Qomar. Dan Firman menceritakan waktu pertama kali dia masuk di
pesantren itu. Menagis. Adalah hal lumrah ketika berpisah. Tapi, tak sewajarnya
terus-menerus ditangisi. Dia juga merasakannya sendiri, dan ada santri lain
pula yang kemudian menghiburnya serta memberi motivasi-motivasi tentang
kehidupan di pesantren yang serba mandiri.
Mendung malam itu seketika hilang
dan memberikan ruang untuk bulan dan bintang bersinar. Setalah sekian lama
Firman bercerita. Dia memberi solusi untuk Qomar agar tak larut dalam kesedihan
terus-menerus dan lebih bersemangat menjalani kehidupan di pesantren.
Konon, kalau ada santri baru yang
masih belum kunjung krasan di pesantren itu. Santri baru itu akan diajak sowan
ke ndalemnya Nyai Shofiyah. Disana biasa akan diberi oleh Nyai Shofiyah
jamuan-jamuan, wejangan-wejangan, doa-doa pendek, bacaan selawat. Bahkan, tak
jarang beliau memberi hadiah berupa sarung, mukena dan sesuatu yang bisa
menjadi sebuah kenang-kenangan untuk para tamu yang sowan.
Tidak hanya santri saja yang biasa
sowan ke rumah Nyai Shofiyah. Ada tokoh masyarakat, orang luar daerah, dan
terkadang pejabat sipil pun juga sowan ke rumah Nyai Shofiyah. Untuk
silaturrahim dan mohon didoakan oleh beliau.
Disamping umur beliau saat itu sudah
sepuh dan terkenal sebagai orang yang bersahaja serta grapyak kepada
siapa saja. Tidak membuat para tamunya yang akan sowan menjadi pekewuh.
Setelah mendengar cerita dari
Firman. Qomar menjadi penasaran pada sosok kharismatik Nyai Shofiyah. Dia tidak
sabar menunggu tawaran dari Firman agar diajak sowan ke rumah Nyai Shofiyah.
Cahaya bulan meredup dan beranjak
dari tempatnya. Firman menyudahi cerita tentang Nyai Shofiyah diikuti imbauannya
pada Qomar agar lekas tidur. Karena malam semakin larut dan esok pagi harus
siap untuk masuk masa orientasi sekolah. Dan setelah itu akan diajaknya sowan
ke rumah Nyai Shofiayah.
***
Pagi cerah menyibak gelapnya selimut
malam. Secerah harapan baru para santri baru di pesantren Al-Latif. Qomar
beserta santri-santri baru lain berduyun-duyun menuju ke sekolah untuk
mengikuti kegiatan orientasi sekolah yang dilaksanakan dari jam 7 hingga
menjelang waktu dzuhur.
Hari itu merupakan hari pertama
masuk kelas. Dengan diisi sapaan-sapaan dari para guru beserta staf sekolahan,
panitia penyelenggara kegiatan, dan dari pejabat-pejabat organisasi sekolah.
Serta perkenalan antarsantri baru.
Riuh tawa menghibur para santri baru
ketika kegiatan orientasi sekolah dilaksanakan. Namun, masih ada juga yang
murung atas keharuan berpisah dengan keluarga. Kegiatan hari pertama penuh
dengan perkenalan dan sapaan.
Kegiatan pun bersambung di hari
selanjutnya.
Sementara rasa penasaran Qomar untuk
sowan ke rumah Nyai Shofiyah sore itu masih mengerubutinya. Hingga menjelang
waktu ashar Qomar belum bertemu Firman lagi. Yang akan mengajaknya sowan ke
rumah Nyai Shofiyah.
Lalu, setelah sholat ashar Qomar
beranjak dari masjid hendak mencari Firman. Namun, dari tempatnya beranjak,
Firman telah menunggunya di depan asrama putra. “Ayo, jangan kelamaan sedihnya
!” Teriak Firman. Qomar pun segera bergegas menuju ke arah Firman menunggu.
Qomar merilekskan dirinya agar tak
gugup saat sowan.
Sampailah mereka berdua di rumah
Nyai Shofiyah. Sebelum Qomar ngudha-rasa kepada Nyai Shofiyah, terlebih
dulu Firman memperkenalkan siapa Qomar dan apa maksud dari kedatangan mereka
berdua di rumah Nyai Shofiyah. Itulah yang disebutkan oleh Firman sebagai unggah-ungguhing
mertamu.
Nyai Shofiyah yang sejak ba’da ashar
biasa duduk sembari berdzikir di ruang tamu langsung menyambut kedatangan
Firman dan Qomar. Dan seperti biasa, Nyai Shofiyah memanggil seorang abdi
ndalem supaya tamunya disuguhi.
Hati Qomar luruh dan menjadi tenang
yang sebelumnya menggebu-gebu ingin ngudha-rasa pada Nyai Shofiyah.
Mendengar maksud sowan Qomar yang
disampaikan oleh Firman. Nyai Shofiyah dengan kewibawaannya memberi wejangan
pada Qomar supaya selalu mendo’akan dan berprasangka baik kepada kedua
orangtuanya agar diberikan berkah serta kemakmuran dalam menjalani hidup. Dan
untuk diri Qomar sendiri, Nyai Shofiyah berpesan agar perbanyak baca selawat
dan nderes qur’an. Namun, Nyai Shofiyah tak lantas menyilahkan pergi
kedua santrinya yang sowan itu. Beliau melanjutkannya dengan cerita-cerita
mutiara dari ulama terdahulu.
Cerita demi cerita Qomar dengar dari
bibir Nyai Shofiyah yang basah akan dzikirnya juga. Qomar terbawa ke alur
cerita dari beliau yang mudah akrab itu. Hingga tak terasa waktu mengisyaratkan
agar disudahi sowan pertama kali itu. Sebelum pamit pergi dari rumah Nyai
Shofiyah, Qomar diberi hadiah oleh beliau sebuah sarung. Dan beranjaklah Qomar
dan Firman dari rumah Nyai Shofiyah kembali ke asrama untuk melanjutkan
kegiatan pondok.
Senja pun berkialuan dengan awan
kemerah-merahan yang menandakan masuk waktu maghrib.
***
Setalah sowan dari rumah Nyai
Shofiyah, Qomar benar-benar merasakan sebuah kasih sayang seorang ibu di
pesantren sebagai ganti dari ibunya yang berada di rumah. Walaupun terpaut umur
yang berbeda. Qomar merasa lebih spesial dengan adanya beliau. Namun, Qomar
juga sadar bahwa dirinya hanya salah satu dari sekian banyak orang yang
merasakan kasih sayang beliau tersebut. Kehidupan Qomar di pesantren menjadi
lebih cerah dan terarah didampingi beliau. Beliau yang wajahnya berseri-seri.
Sorot pandangnya yang teduh. Senyuman yang selalu menyertai pembicaraannya.
Tutur lebut perkataannya yang mendidik. Laku hidupnya yang sederhana. Seakan
tak pernah tergantikan bagi siapa saja yang pernah hidup berdampingan semasa
beliau Nyai Shofiyah.
Tapi, Qomar hanya menangi Nyai Shofiyah selama hampir 3 tahun nyantri. Bagi
Qomar itu waktu yang singkat untuk hidup berdampingan bersama beliau. Untuk ngudha-rasa
dalam menjalani kehidupan di pesantren. Kembalinya Nyai Shofiyah ke pangkuan Rahmatullah
terasa sekali kepedihan yang mendalam untuk berpisah dengan beliau. Perasaan
tak rela dari setiap orang yang menangi Nyai Shofiyah juga tersirat dari
derai air mata yang menetes.
Dan obituari yang mendadak pagi itu
sempat mengejutkan beberapa orang serta mengejutkan acara penerimaan rapor dari
santri-santri tingkat SMP.
Dan jenazah Nyai Shofiyah pun sudah
siap diberangkatkan ke liang lahat. Sebelumnya sholat jenazah yang dilaksanakan
oleh banyak sekali pentakziyah termasuk Qomar yang begitu khusyuk.
Dalam benak Qomar masih terbayang
sosok wanita sepuh itu memberinya wejangan-wejangan lembut untuk hidup
bermanfaat bagi yang lainnya, memperjuangkan kebenaran dan taat pada orang tua
serta mengistiqomahkan selawat nabi.
Dan Qomar menyadari sesadar-sadarnya
bahwa kematian merupakan sebuah misteri yang tak akan pernah bisa terungkap di
dunia.
Terimakasih Nyai Shofiyah.
Solo, 17102012 Mengenang.
beruntung bagi yg pernah bertemu dengan beliau..
BalasHapus