20 Desember 2012

Nyai Shofiyah


Cerah pagi itu seketika mendung dan berkabung. Mengisyaratkan sebuah kesediahan yang mendalam. Ketika Qomar dan orang lain dari dirinya mengetahui kabar lelayu dari seorang yang pernah berbuat baik kepada mereka.
Qomar yang baru duduk di bangku kelas 9 SMP masih terlalu kecil untuk berpisah dengan Nyai Shofiyah sebagai ibu penggantinya selama di pesantren. Dia merasa masih membutuhkan kasih sayang dari beliau. Karena hari-hari yang dijalani oleh Qomar saat awal-awal nyantri di pesantren Al-Latif terasa indah dengan adanya Nyai Shofiyah.
Walaupun Qomar adalah salah satu dari sekian banyak santri yang mondok di pesantren itu. Bukan berarti cuma Qomar saja yang selalu diperhatikan oleh Nyai Shofiyah. Ada juga orang-orang dari luar lingkungan pesantren yang berguru pada beliau melalui sowan kepada beliau.
Tapi, bagi diri Qomar. Sosok beliau yang akrab dipanggil Nyai Shofiyah oleh kebanyakan santri itu adalah orang yang bersahaja.
Keluh kesah Qomar selama awal-awal masuk pesantren begitu mengharukan. Dia seolah-olah kehilangan keluarganya. Namun, perasaan itu mulai samar dan perlahan hilang. Dengan keberadaan Nyai Shofiyah di pesantren itu. Yang persinggahan beliau menyatu dengan komplek asrama putri mengahadap asrama putra.

***


Awal-awal Qomar datang waktu kelas 7 SMP dulu. Dimana Qomar terlampau belum beradaptasi dengan lingkungan pondok yang serba mandiri. Qomar terlalu kaget dan silau dengan keadaan seperti itu yang sengaja dipilihnya sendiri sebagai tempat belajar setelah lulus dari sekolah dasar.
Waktu itu acara awwalussanah. Dimana para santri baru yang akan nyantri di pesantren itu harus berpisah jarak antara keluarganya. Dan dimana ada isak tangis dari beberapa santri baru yang masih keberatan ditinggal sementara oleh keluarganya.
Qomar dengan melihat keadaan seperti itu juga terbawa keharuan perpisahan. Dia sebenarnya biasa-biasa saja ketika orangtuanya tidak menemaninya saat acara berlangsung. Namun, setelah malamnya. Qomar menyendiri. Melepas tangis sesenggukannya di pojokan serambi masjid yang masih satu komplek dengan pesantren.
Lantas, ada santri lama menghampirinya. Ia menyodorkan tangan dan mengajak berkenalan. Dialah Firman santri lama itu. Setelah basa-basi perkenalan itu. Qomar menjadi sedikit tenteram. Sembari mengusap air mata yang menghangatkan pipinya.
“Ada apa, dik?” Tanya Firman. Qomar menghela napas dan menggelengkan kepala. “Kangen keluarga ya?” Lanjut Firman dengan senyuman. Qomar hanya diam kali ini. Hanya isyarat kesunyian yang bisa Firman tangkap dari raut Qomar.
Namun, Firman masih berusaha menghibur Qomar. Dan Firman menceritakan waktu pertama kali dia masuk di pesantren itu. Menagis. Adalah hal lumrah ketika berpisah. Tapi, tak sewajarnya terus-menerus ditangisi. Dia juga merasakannya sendiri, dan ada santri lain pula yang kemudian menghiburnya serta memberi motivasi-motivasi tentang kehidupan di pesantren yang serba mandiri.
Mendung malam itu seketika hilang dan memberikan ruang untuk bulan dan bintang bersinar. Setalah sekian lama Firman bercerita. Dia memberi solusi untuk Qomar agar tak larut dalam kesedihan terus-menerus dan lebih bersemangat menjalani kehidupan di pesantren.
Konon, kalau ada santri baru yang masih belum kunjung krasan di pesantren itu. Santri baru itu akan diajak sowan ke ndalemnya Nyai Shofiyah. Disana biasa akan diberi oleh Nyai Shofiyah jamuan-jamuan, wejangan-wejangan, doa-doa pendek, bacaan selawat. Bahkan, tak jarang beliau memberi hadiah berupa sarung, mukena dan sesuatu yang bisa menjadi sebuah kenang-kenangan untuk para tamu yang sowan.
Tidak hanya santri saja yang biasa sowan ke rumah Nyai Shofiyah. Ada tokoh masyarakat, orang luar daerah, dan terkadang pejabat sipil pun juga sowan ke rumah Nyai Shofiyah. Untuk silaturrahim dan mohon didoakan oleh beliau.
Disamping umur beliau saat itu sudah sepuh dan terkenal sebagai orang yang bersahaja serta grapyak kepada siapa saja. Tidak membuat para tamunya yang akan sowan menjadi pekewuh.
Setelah mendengar cerita dari Firman. Qomar menjadi penasaran pada sosok kharismatik Nyai Shofiyah. Dia tidak sabar menunggu tawaran dari Firman agar diajak sowan ke rumah Nyai Shofiyah.
Cahaya bulan meredup dan beranjak dari tempatnya. Firman menyudahi cerita tentang Nyai Shofiyah diikuti imbauannya pada Qomar agar lekas tidur. Karena malam semakin larut dan esok pagi harus siap untuk masuk masa orientasi sekolah. Dan setelah itu akan diajaknya sowan ke rumah Nyai Shofiayah.

***

Pagi cerah menyibak gelapnya selimut malam. Secerah harapan baru para santri baru di pesantren Al-Latif. Qomar beserta santri-santri baru lain berduyun-duyun menuju ke sekolah untuk mengikuti kegiatan orientasi sekolah yang dilaksanakan dari jam 7 hingga menjelang waktu dzuhur.
Hari itu merupakan hari pertama masuk kelas. Dengan diisi sapaan-sapaan dari para guru beserta staf sekolahan, panitia penyelenggara kegiatan, dan dari pejabat-pejabat organisasi sekolah. Serta perkenalan antarsantri baru.
Riuh tawa menghibur para santri baru ketika kegiatan orientasi sekolah dilaksanakan. Namun, masih ada juga yang murung atas keharuan berpisah dengan keluarga. Kegiatan hari pertama penuh dengan perkenalan dan sapaan.
Kegiatan pun bersambung di hari selanjutnya.
Sementara rasa penasaran Qomar untuk sowan ke rumah Nyai Shofiyah sore itu masih mengerubutinya. Hingga menjelang waktu ashar Qomar belum bertemu Firman lagi. Yang akan mengajaknya sowan ke rumah Nyai Shofiyah.
Lalu, setelah sholat ashar Qomar beranjak dari masjid hendak mencari Firman. Namun, dari tempatnya beranjak, Firman telah menunggunya di depan asrama putra. “Ayo, jangan kelamaan sedihnya !” Teriak Firman. Qomar pun segera bergegas menuju ke arah Firman menunggu.
Qomar merilekskan dirinya agar tak gugup saat sowan.
Sampailah mereka berdua di rumah Nyai Shofiyah. Sebelum Qomar ngudha-rasa kepada Nyai Shofiyah, terlebih dulu Firman memperkenalkan siapa Qomar dan apa maksud dari kedatangan mereka berdua di rumah Nyai Shofiyah. Itulah yang disebutkan oleh Firman sebagai unggah-ungguhing mertamu.
Nyai Shofiyah yang sejak ba’da ashar biasa duduk sembari berdzikir di ruang tamu langsung menyambut kedatangan Firman dan Qomar. Dan seperti biasa, Nyai Shofiyah memanggil seorang abdi ndalem supaya tamunya disuguhi.
Hati Qomar luruh dan menjadi tenang yang sebelumnya menggebu-gebu ingin ngudha-rasa pada Nyai Shofiyah.
Mendengar maksud sowan Qomar yang disampaikan oleh Firman. Nyai Shofiyah dengan kewibawaannya memberi wejangan pada Qomar supaya selalu mendo’akan dan berprasangka baik kepada kedua orangtuanya agar diberikan berkah serta kemakmuran dalam menjalani hidup. Dan untuk diri Qomar sendiri, Nyai Shofiyah berpesan agar perbanyak baca selawat dan nderes qur’an. Namun, Nyai Shofiyah tak lantas menyilahkan pergi kedua santrinya yang sowan itu. Beliau melanjutkannya dengan cerita-cerita mutiara dari ulama terdahulu.
Cerita demi cerita Qomar dengar dari bibir Nyai Shofiyah yang basah akan dzikirnya juga. Qomar terbawa ke alur cerita dari beliau yang mudah akrab itu. Hingga tak terasa waktu mengisyaratkan agar disudahi sowan pertama kali itu. Sebelum pamit pergi dari rumah Nyai Shofiyah, Qomar diberi hadiah oleh beliau sebuah sarung. Dan beranjaklah Qomar dan Firman dari rumah Nyai Shofiyah kembali ke asrama untuk melanjutkan kegiatan pondok.
Senja pun berkialuan dengan awan kemerah-merahan yang menandakan masuk waktu maghrib.

***

Setalah sowan dari rumah Nyai Shofiyah, Qomar benar-benar merasakan sebuah kasih sayang seorang ibu di pesantren sebagai ganti dari ibunya yang berada di rumah. Walaupun terpaut umur yang berbeda. Qomar merasa lebih spesial dengan adanya beliau. Namun, Qomar juga sadar bahwa dirinya hanya salah satu dari sekian banyak orang yang merasakan kasih sayang beliau tersebut. Kehidupan Qomar di pesantren menjadi lebih cerah dan terarah didampingi beliau. Beliau yang wajahnya berseri-seri. Sorot pandangnya yang teduh. Senyuman yang selalu menyertai pembicaraannya. Tutur lebut perkataannya yang mendidik. Laku hidupnya yang sederhana. Seakan tak pernah tergantikan bagi siapa saja yang pernah hidup berdampingan semasa beliau Nyai Shofiyah.
Tapi, Qomar hanya menangi  Nyai Shofiyah selama hampir 3 tahun nyantri. Bagi Qomar itu waktu yang singkat untuk hidup berdampingan bersama beliau. Untuk ngudha-rasa dalam menjalani kehidupan di pesantren. Kembalinya Nyai Shofiyah ke pangkuan Rahmatullah terasa sekali kepedihan yang mendalam untuk berpisah dengan beliau. Perasaan tak rela dari setiap orang yang menangi Nyai Shofiyah juga tersirat dari derai air mata yang menetes.
Dan obituari yang mendadak pagi itu sempat mengejutkan beberapa orang serta mengejutkan acara penerimaan rapor dari santri-santri tingkat SMP.
Dan jenazah Nyai Shofiyah pun sudah siap diberangkatkan ke liang lahat. Sebelumnya sholat jenazah yang dilaksanakan oleh banyak sekali pentakziyah termasuk Qomar yang begitu khusyuk.
Dalam benak Qomar masih terbayang sosok wanita sepuh itu memberinya wejangan-wejangan lembut untuk hidup bermanfaat bagi yang lainnya, memperjuangkan kebenaran dan taat pada orang tua serta mengistiqomahkan selawat nabi.
Dan Qomar menyadari sesadar-sadarnya bahwa kematian merupakan sebuah misteri yang tak akan pernah bisa terungkap di dunia.
Terimakasih Nyai Shofiyah.

Solo, 17102012 Mengenang.

1 komentar: