6 Maret 2013

Menulis itu...

Salam blogger nusantara !
Sebelumnya tulisan yang saya muat ini sudah saya tulis di buku catatan saya. Ini sekedar untuk saya share kepada blogwalker dan para pembaca yang budiman. Serta mengisi blog yang sekiranya punya manfaat tersendiri. :)

Oke langsung saja. Ini dia tulisan dari buku catatan saya. Dengan judul "Kembali menulis, kembali sedia kala."


Lama sekali aku tidak menulis sesuatu. Entah itu cerita, puisi, atau tulisan-tulisan basa-basi belaka. Yang penting suatu tulisan yang bisa dibaca saja sudah lumayan. :)

Sebelumnya, dulu aku sering menulis. *Eh, yaa nggak sering-sering amat kok, kalo ada mood saja sih.

Ya, seperti diatas tadi. Suatu tulisan yang bisa dibaca. Siapa yang membaca?. Jelasnya aku sendiri. Kalau tulisan itu ada unsur lucunya. Aku tertawa sendiri seperti orang gila yang keluar dari tahanan RSJ. Terus, kalau ada yang sedih-sedih, yang mengingatkan pada saat-saat aku menderita. Tiba-tiba air mata meleleh di pipiku. Yaah, macam-macam lah perasaan itu.

Tapi, ada juga siih pembaca selain diriku sendiri. Ada, teman-teman dekatku. Orang lain yang secara kebetulan menemukan dan kemudian membuka-buka buku catatanku. Dan, kadang juga aku menyodorkannya ke seseorang yang berada didekatku untuk sekedar minta komentar tentang tulisan yang baru saja aku tulis.

Bisa sampai berjam-jam kalau aku menulis sesuatu. Sebab, untuk menuliskan apa yang ada didalam hati itu tak segampang kalau aku bicara. Aku harus merancang kalimat dulu. Dan sebelum bisa aku tulis. Tentunya mengutak-atik kata didalam hati itu juga sulit.

Hingga aku merelakan tulisan yang sebelumnya sudah tertulis aku coret-coret. Merasa kurang enak untuk dibaca. Malah kalimatnya itu -temanku mengatakan- muter-muter nggak jelas pola kalimatnya.

Aku sendiri juga sadar, ketika aku membaca tulisan itu. Kalau kalimat-kalimat yang aku tulis itu kurang bisa dipahami. Karena pola kalimat yang aku tulis sering muluk-muluk berlebihan serta tidak jelas apa maksud kalimat itu.

Itu masih mending. Malah ada komentar dari salah satu temanku. "Bahasamu kok tinggi amat sih !" Katanya. Komentar yang sekelumit itu langsung mengena. Layaknya diriku ditikam dari depan. Dan aku hanya bengong, diam terpaku.

"Bahasamu kok tinggi amat sih !" Komentar itu terus saja terngiang-ngiang di benakku. Menghantui diriku setiap aku ingin kembali menulis sesuatu sekaligus berbicara.

Oke, tak apa. Itu cuma komentar.

Namun, mulai seminggu setelah komentar itu nyeletuk dari mulut teman baikku itu, aku mulai malas dan minder untuk sekedar menulis dan bicara. Aku yang sebelumnya gembar-gembor ngomong nggak jelas dan tak karuan. Berubah beberapa dejarat menjadi bungkam dan seorang pendiam.

Aku memilih diam daripada bicara tidak jelas apa alur pembicaraanku. Pernah aku mendengar suatu petuah "Diam itu emas." Kurasakan itu ada benarnya setelah aku dikutuk oleh komentar seorang teman yang baik hati itu.

Seminggu. Dua minggu. Satu bulan. Sampai hampir satu tahun, aku menjadi seorang pendiam.Diam berjuta bahasa. Dan diam dalam arti menyedikitkan pembicaraan dan jarang sekali menulis sesuatu. Aku juga menjadi malu untuk bertanya-tanya kepada orang-orang yang berada disekitarku.

Namun juga, dalam diamku itu. Bukan berarti pikiran serta hatiku kosong dan kekeringan pertanyaan-pertanyaan. Didalam lubuk hatiku yang paling dalam. Aku sangatlah cerewet, dan bicara dengan diri sendiri tak karuan. Bicara ini itu juga tidak jelas. Seolah didalam tubuhku ini ada dua nyawa yang sedang berdialog asyik. Saling balas pembicaraan antara nyawa satu dengan nyawa yang kedua.

Lha, bukannya aku ini jadi agak stress. Bahkan malah bisa disebut orang gila sungguhan. Karena dengan adanya dua nyawa yang bersemayam ditubuhku selalu saja cek-cok. Adu argumen tidak jelas.

Tapi, untungnya hal itu bisa dikendalikan. Bisa aku ambil alih. Karena ada satu moderator yang berperan aktif didalam percek-cokan yang tidak jelas itu. Satu moderator itu adalah tingkat kesadaran diri.

Tingkat seberapa tinggi diri ini bisa sadar. Sadar akan suatu kebenaran diri yang sesungguhnya.Yang tidak nampak didepan kita, namun keberadaannya selalu nyata dan selalu hadir ketika aku mulai kesepian serta ramai tak karuan.

Terimakasih Tuhan. Kesadaran ini Engkau ciptakan juga untuk manusia yang diikutsertakan berperan aktif mengontrol dan mengendalikan alam akal serta pikiran manusia.

Karena dengan kesadaran itulah manusia bisa menyadari bahwa dirinya manusia. Bukannya hewan buas. Dan juga sadar bahwa ada yang lebih berhak dijadikan lebih dari manusia, bahkan alam raya ini. Yaitu hanya Engkau Yaa Tuhan yang menciptakan semua ini.

Sekali lagi, terimakasih Tuhan. :)

Naah, itlah kenapa aku jadi tergerak kembali untuk menulis apa yang diinginkan hati. Entah nantinya menjadi cerpen, puisi, prosa, artikel, makalah, opini, atau yang menjadi tulisan seperti ini. Yang penting tulisan yang bisa dibaca. Dan aku juga akan berusaha memperbaiki penulisanku dalam menuliskan isi pikiran beserta isi hati.

Solo, 28022013

"Cut !" Terimakasiih atas kunjungan dan membaca tulisan yang saya posting di media blog ini.

0 Masukan:

Posting Komentar