Sekedar wacana bahwa di era –saya
menyebutnya– global-digital saat ini banyak sekali kecenderungan-kecenderungan
dari setiap orang menjadi meterialistik dan hedonisme terhadap dunia –katakanlah
duniawi. Meskipun ada hal-hal duniawi yang juga bisa dijadikan sarana dan atau
bekal untuk menuju ke akhirat kelak. Terlepas dari hal itu. Kita lihat sendiri
dengan mata kepala masing-masing bahwa saat ini banyak diantara kita kehilangan
kesejatian hidup. Tidak salah lagi. Banyak sekali orang saat ini kehilangan kendali
dalam mengatur apa yang menjadi kebutuhan dan kesenangan sesaat mereka.
Kebutuhan yang paling mendasar
itu secara pandangan sosial dan ekonomi hanya ada tiga; sandang, pangan, dan
papan. Sedangkan bagi yang berkeyakinan tentang religiusitas dan spiritualitas,
pasti juga menjadikannya sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Untuk turut
menghidupkan hati maksudnya. Kebutuhan inilah yang menjadikan hidup seseorang
menjadi lebih hidup. Dengan menorehkan kesan hidup yang berperilaku dan dalam
Islam disebut akhlaqul kariimah.
Manusia saat ini dirancang dengan
model sedemikian rupa oleh sistem yang entah dari mana mempunyai mental
material dan hedonis. Model meterialis sering pada saat ini menampakkan dirinya
melalui ajang pamer dan merasa iri dengan hal baru yang belum dimilikinya. Hal
ini akan menimbulkan kekhawatiran bagi orang yang melihatnya kemudian secara
sedikit demi sedikit tanpa terasa meniru model-model materialis tersebut. Model
selanjutnya adalah model hedonis yang berunjukgigi dengan menampilkan foya-foya
dan memuncakkan kesenangannya pada dunia. Model hedonis juga bisa menjalar ke
lingkungannya.
Rasanya tidak ada yang lain
selain dunia bagi dua model manusia tersebut. Dua model inilah yang dalam
perkembangan pesatnya akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan yang
menghiraukan aspek religiusitas dan spiritualitas. Mereka senantiasa
mengedepankan ambisinya untuk menguasai dunia dan seisinya bagi mereka sendiri
maupun koloni-koloninya yang sejalan dengan mereka.
Lalu dengan orang-orang yang
tetap membina hidupnya dengan nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas akan
mengalami kecenderungan untuk menilai hal-hal buruk yang ada disekitarnya
merupakan perkara yang wajar dan sudah biasa. Lantas, mereka dengan rasa acuh
tak acuh membiarkan hal-hal buruk tersebut berjalan adanya, toh mereka tidak
bisa berbuat banyak untuk menghilangkan hal buruk itu.
Dengan kata lain, di era
global-digital merupakan era dimana manusia justru akan diarahkan menuju
peradaban primitif, dan bukan modern lagi. Karena sudah banyak yang terjadi
saat ini, orang-orang lebih suka menelanjangi dirinya sendiri dengan memasuki
dunia maya daripada dunia nyata. Menelanjangi diri sendiri dalam konteks ini
orang-orang lebih suka membuka aib yang pada dasarnya itu sebuah privasi –hanya
dia dan Tuhan saja yang tahu. Ya, memang mengakui kejelekan diri sendiri itu
baik. Tapi, ada baiknya pula tidak dengan cara dipublikasikan segala. Nanti
akan timbul tanggapan dari orang lain yang mengetahuinya bisa-bisa memunculkan
salah penafsiran dan menelorkan image buruk. Ya, kalau saja itu image
yang sekedar pandangan. Lha kalau sampai terjadi suatu reaksi ekstrim
negatif bagaimana?. Malah jadi runyam kan masalahnya.
Jadi, orang-orang di era
global-digital saat ini dituntut harus lebih waspada, mawasdiri dan teliti pada
setiap apa saja yang hendak diperbuat. Karena –mengutip penggalan syair– dari
R. Ng. Ronggowarsito “… begja-begjaning kang lali, isih begja kang eling lawan waspada …”.
ditulis @Solo, 14112012
0 Masukan:
Posting Komentar