16 Desember 2012

TELANJANG GLOBAL, MANUSIA DIGITAL

Sekedar wacana bahwa di era –saya menyebutnya– global-digital saat ini banyak sekali kecenderungan-kecenderungan dari setiap orang menjadi meterialistik dan hedonisme terhadap dunia –katakanlah duniawi. Meskipun ada hal-hal duniawi yang juga bisa dijadikan sarana dan atau bekal untuk menuju ke akhirat kelak. Terlepas dari hal itu. Kita lihat sendiri dengan mata kepala masing-masing bahwa saat ini banyak diantara kita kehilangan kesejatian hidup. Tidak salah lagi. Banyak sekali orang saat ini kehilangan kendali dalam mengatur apa yang menjadi kebutuhan dan kesenangan sesaat mereka.
Kebutuhan yang paling mendasar itu secara pandangan sosial dan ekonomi hanya ada tiga; sandang, pangan, dan papan. Sedangkan bagi yang berkeyakinan tentang religiusitas dan spiritualitas, pasti juga menjadikannya sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Untuk turut menghidupkan hati maksudnya. Kebutuhan inilah yang menjadikan hidup seseorang menjadi lebih hidup. Dengan menorehkan kesan hidup yang berperilaku dan dalam Islam disebut akhlaqul kariimah.
Manusia saat ini dirancang dengan model sedemikian rupa oleh sistem yang entah dari mana mempunyai mental material dan hedonis. Model meterialis sering pada saat ini menampakkan dirinya melalui ajang pamer dan merasa iri dengan hal baru yang belum dimilikinya. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran bagi orang yang melihatnya kemudian secara sedikit demi sedikit tanpa terasa meniru model-model materialis tersebut. Model selanjutnya adalah model hedonis yang berunjukgigi dengan menampilkan foya-foya dan memuncakkan kesenangannya pada dunia. Model hedonis juga bisa menjalar ke lingkungannya.
Rasanya tidak ada yang lain selain dunia bagi dua model manusia tersebut. Dua model inilah yang dalam perkembangan pesatnya akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan yang menghiraukan aspek religiusitas dan spiritualitas. Mereka senantiasa mengedepankan ambisinya untuk menguasai dunia dan seisinya bagi mereka sendiri maupun koloni-koloninya yang sejalan dengan mereka.
Lalu dengan orang-orang yang tetap membina hidupnya dengan nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas akan mengalami kecenderungan untuk menilai hal-hal buruk yang ada disekitarnya merupakan perkara yang wajar dan sudah biasa. Lantas, mereka dengan rasa acuh tak acuh membiarkan hal-hal buruk tersebut berjalan adanya, toh mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menghilangkan hal buruk itu.
Dengan kata lain, di era global-digital merupakan era dimana manusia justru akan diarahkan menuju peradaban primitif, dan bukan modern lagi. Karena sudah banyak yang terjadi saat ini, orang-orang lebih suka menelanjangi dirinya sendiri dengan memasuki dunia maya daripada dunia nyata. Menelanjangi diri sendiri dalam konteks ini orang-orang lebih suka membuka aib yang pada dasarnya itu sebuah privasi –hanya dia dan Tuhan saja yang tahu. Ya, memang mengakui kejelekan diri sendiri itu baik. Tapi, ada baiknya pula tidak dengan cara dipublikasikan segala. Nanti akan timbul tanggapan dari orang lain yang mengetahuinya bisa-bisa memunculkan salah penafsiran dan menelorkan image buruk. Ya, kalau saja itu image yang sekedar pandangan. Lha kalau sampai terjadi suatu reaksi ekstrim negatif bagaimana?. Malah jadi runyam kan masalahnya.
Jadi, orang-orang di era global-digital saat ini dituntut harus lebih waspada, mawasdiri dan teliti pada setiap apa saja yang hendak diperbuat. Karena –mengutip penggalan syair– dari R. Ng. Ronggowarsito “… begja-begjaning kang lali, isih  begja kang eling lawan waspada …”.

ditulis @Solo, 14112012

0 Masukan:

Posting Komentar